Artikel Terkini

Kartini, Adat Dan Tradisi

Kartini, Adat Dan Tradisi

Warkah Kartini ialah pemikiran berselang rintihan. Kalau dikoyakkan basahlah ia dengan bah air mata gadis ini. Dalam kepatuhan Kartini terhadap bapanya, terselit penolakan adat dan tradisi yang menurutnya karut dan tidak manusiawi. Bukan sahaja adat yang membungkam perempuan dan keperempuanan, Kartini juga tegas meluahkan fikirannya terhadap tradisi feudal yang sebegitu kuat merendahkan masyarakat kelas terbawah juga mengangkat hierarki keluarga. Dalam ruang fikiran dan idea Kartini, setiap daripada manusia adalah setara. Tidak ada yang dimuliakan dan tidak ada yang direndah-rendahkan. Baik laki-laki atau perempuan, baik rakyat atau bangsawan, manusia adalah sama. Setara.

Saya pun benci ketakutan. Untuk apa saya mematuhi peraturan-peraturan adat itu? Saya gembira bahawa satu ketika dapat melepaskan krama Jawa yang ribet itu – setelah berbicara dengan kamu di atas kertas. Peraturan dan hukum susunan manusia merupakan perbuatan kejam di mata saya.  Kamu tidak dapat bayangkan bagaimana ibu etika di dunia bangsawan Jawa.

Dengan jiwa yang sentiasa mahukan kebebasan dan kesetaraan, sudah tentu adat tradisi Jawa ialah belati yang menusuk. Seperti baladau, tampak kecil tak memakan mangsa tetapi tajam membunuh. Begitulah adat dan tradisi menurut Kartini. Ia merupakan neraca yang tak pernah adil. Yang satu menggapai syurga yang satu lagi menjejak neraka. Adat dan tradisi yang hanya menguntungkan sebelah pihak, memaksa yang satu mencium kaki sedang yang di atas memijak memang wajar ditentang dan dihapuskan. Apa lagi adat yang sememangnya kolot dan usang.

Adik saya tidak boleh mendahului saya, kecuali ia merangkak di tanah. Jika adik saya duduk di kerusi dan saya lewat, maka ia harus segera turun dan duduk di bawah dengan kepala tunduk, sampai saya jauh melewatinya. Adik saya baik lelaki atau perempuan tidak boleh ber”aku- ber”engkau” kepada saya dan hanya dalam Bahasa Jawa Kromo mereka boleh menegur saya ; dan setelah kalimat selesai mereka ucapkan, mereka harus menghormat kepada saya dengan cara menyembah – dua tangan dipertemukan dan diangkat ke bawah hidup sebentar.

Dalam suratnya kepada Nona Stella Zeehandelaar, Kartini jelas tidak senang dengan adat kebiasaan orang Jawa yang sebegitu tebal menyanjung orang yang lebih tua. Ia berlebihan menurut Kartini. Seorang manusia tidak sewajarnya dibenarkan merangkak di hadapan orang yang sama sahaja di hadapan Tuhan. Sebegitu jengkel Kartini terhadap adat kebiasaan kekeluargaan yang menurutnya tidak mesra malah menjauhkan. Kita mahu berjalan di atas awan, memeluk pelangi sedang tangan berpimpinan bersama adik beradik yang lain. Gelak ketawa adalah hal yang membahagiakan. Senda dan gurau ialah manifestasi cinta dari jiwa yang bebas penundukan. Begitulah hubungan adik beradik yang sepatutnya menurut Kartini.

Saya tidak mahu mengurangi hak seseorang sedikit pun ; jujur mulai dari saya ke bawah semua adat kami langgar. Kebebasan, persamaan dan persaudaraan! Adik-adik bergaul bebas dengan saya dan di antara mereka merupakan kawan-kawan yang setara. Di antara kami tidak ada kekakuan, yang terlihat dalam perhubungan sesama kami hanyalah persahabatan dan ketulusan hati.

Teriakan Kartini tidak terhenti pada adat kekeluargaan yang menundukkan orang yang lebih muda. Mana mungkin seorang Kartini akur kepada tradisi orang Jawa yang menuntut perempuan menjadi “perempuan”. Perempuan Jawa santunnya tak tertandingkan hingga tiadalah anak dara pingitan terlihat di keramaian. Hingga tidak didengarkan suara halus anak perempuan.

Kalau seorang wanita tertawa, awas! Ia tidak boleh membuka mulutnya.

Kalau anak perempuan berjalan, maka ia harus melakukannya secara perlahan-lahan. Dengan langkah yang pendek-pendek dan sopan, perlahan sekali seperti siput. Kalau ia berjalan cepat, maka ia dicaci maki diibaratkan kuda berlari.

Begitulah orang perempuan dipasung adat menurut Kartini. Tingkah perilaku semuanya diperhati. Sebegitu sakit dan sukar menjadi perempuan Jawa – Kartini berperang dengan jiwa dan adat. Berpaut pada dahan cinta dan sayang kepada bapa, Kartini tidak menyebut-nyebut hakikat poligami si ayah yang ditentangnya. Kartini dengan segenap jiwa dan perasaannya menolak amalan poligami meskipun bapanya turut berjabat tangan dengan tradisi yang menguntungkan laki-laki itu. Tidaklah disebut-sebut Kartini dalam lembaran suratnya perihal poligami si ayah. Tidaklah disebut-sebut Kartini siapakah yang kandung siapakah yang tiri. Namun, fikiran Kartini ialah takungan air dalam sebuah gelas kaca – jelas dan jernih. Kartini tidak tunduk kepada poligami malah dengan keras mengkritik amalan menduakan isteri.

Sebegitu tidak adil adat dan tradisi Jawa terhadap perempuan. Perempuan sudahlah dikongkong, memilih pasangan hidup sendiri juga tidak dibenarkan. Perempuan yang sudah dikahwini malah perlu bersedia menerima suaminya berpoligami. Kartini tidak mahu akur dengan adat kebiasaan sebegini meskipun ia diterima dalam hukum. Bagi Kartini, lebih baik mati dara ketimbang menjadi isteri kedua atau dimadukan.

Pendapatku, untuk mencintai seseorang harus ada rasa hormat dulu. Saya tidak dapat menghormati pemuda Jawa. Bagaimana saya dapat menghormati seseorang, yang sudah menikah dan sudah menjadi bapak, yang apabila sudah bosan dengan isteri lamanya, dapat membawa wanita lain ke dalam rumahnya dan mengahwininya secara sah sesuai dengan hukum Islam. Siapa yang tidak melakukan itu? Karena hal itu bukan dosa : ajaran Islam mengizinkan lelaki menikahi empat wanita sekali gus. Ajaran itu yang menyebabkan ia tidak boleh disebut dosa. Tapi, saya selama-lamanya menganggapnya sebagai dosa.

Kartini juga tidak mahu berterusan menanggung dosa kerana akur dengan tradisi feudal. Dalam surat-suratnya, Kartini meluah resah kerana kehidupannya yang diikat kemas tali feudalisme. Kedudukannya yang tinggi menyebabkannya terpisah dari masyarakat. Tidak diizin bergaul dengan rakyat bahkan rakyat dianggap hina. Tidak setara. Tidaklah setanding Kartini – anak bangsawan.

Duh, kau akan menggigil kalau di tengah-tengah keluarga Pribumi yang terkemuka. Bicara dengan atasan harus sedemikian pelannya, hanya orang di dekatnya saja bisa dengar.

Wanita-wanita yang lebih tua daripada aku, tetapi merupakan bawahanku, sejauh mengenai kebangsawanannya menghormati aku, kerana hal itu memang sudah jadi hakku. Aku tahu mereka lakukan itu dengan sukarela, sekali pun aku jauh lebih muda daripada mereka, tapi aku seoranh keturunan ningrat yang mereka puja, yang rela mereka korbankan harta dan darahnya. Sungguh mengharukan betapa bawahan itu begitu patuhnya kepada atasannya.

Adat dan tradisi feudalisme juga ditentang Kartini. Baginya, hanya ada dua macam kebangsawanan, bangsawan jiwa dan bangsawan budi. Pada fikirannya, tidak ada yang lebih gila, lebih bodoh daripada melihat orang-orang yang membanggakan dengan apa yang disebut sebagai “keturunan bangsawan”. Kartini tidak sembunyi-sembunyi menunjukkan kejengkelan kepada tradisi feudalisme yang tak sudah-sudah. Feudalismelah menurut Kartini yang menghalang kemajuan rakyat Jawa. Namun, tanpa segan silu, tanpa malu, aristokrat malah berasa berjasa dan paling mulia dalam masyarakat. Terlihatkah babak ini dalam drama keluarga Malaysia?

Dengan jangka hayat yang pendek, Kartini barangkali tidak berbuat banyak. Namun, fikirannya yang menggugah adat masih segar dalam ruang perlawanan perempuan. Berimanlah – manusia sama nilainya – setara. Dan tugas manusia adalah menjadi manusia.



kontraktor rumah
bina rumah
pinjaman lppsa
pengeluaran kwsp
spesifikasi rumah
rumah ibs
pelan rumah
rekabentuk rumah
bina rumah atas tanah sendiri
kontraktor rumah selangor
rumah banglo

Source


kontraktor rumah, bina rumah, pinjaman lppsa, pengeluaran kwsp, spesifikasi rumah, rumah ibs, pelan rumah, rekabentuk rumah, bina rumah atas tanah sendiri, kontraktor rumah selangor, rumah banglo